Thursday, October 22, 2009

Muslim dalam Tentera Zionis!

Konflik Arab-Israel identik dengan Yahudi yang memerangi kaum Muslimin di Palestin. Tapi pandangan itu tidak sepenuhnya benar kerana dalam tentera Israel ada asakar-askar Muslim. Mereka adalah Muslim Badwi yang juga ikut mengangkat senjata memerangi saudara-saudara seiman mereka di Jalur Gaza dan Tebing Barat jika Israel mengadakan operasi militer.
Muslim Badui sebenarnya tidak wajib untuk ikut dalam pasukan kemiliteran Israel seperti warga Israel lainnya yang memang diwajibkan. Tapi banyak Muslim Badui yang dengan sukarela mendaftarkan diri menyertai angkatan bersenjata Israel. Salah seorang Muslim Badui bernama Mejar Fehd Fallah mengaku senang dengan tugas yang dipegangnya sebagai tentera Zionis, siapapun lawan yang harus dihadapinya dalam pertempuran.
"Saya akan melakukan apapun yang diperintahkan pada saya dengan penuh keyakinan untuk mengabdi pada negara Israel," ujar Mayor Fallah pada BBC.
Fallah mengatakan bahawa dia juga ikut bertempur melawan Muslim di Gaza dalam operasi Cast Leads bulan Januari 2008 lalu. "Dan saya siap bertempur lagi jika saya memang terpaksa melakukannya. Muslim di Israel yang tidak mahu masuk dalam angkatan bersenjata Israel sepatutnya berasanya malu kerana tidak mengabdi pada negaranya," sambung Fallah selamba.
Orang-orang Badwi Israel majoriti beragama Islam dan berbahasa Arab. Mereka adalah orang-orang nomad (yang hidupnya berpindah-pindah tempat) dan dulunya menjadi sebagian dari masyarakat Palestin. Tapi sekarang, kebanyakan Muslim Badwi lebih bangga menjadi sebahagian masyarakat Israel dan disebut orang Israel.
Kolaborasi antara kaum Yahudi dan suku Arab Badwi sudah terjalin sejak sebelum berdirinya negara ilegal Israel tahun 1948. Berawal pada tahun 1946 ketika pemuka Arab Badwi, Abu Yusuf Al-Heib mengirimkan lebih dari 60 orang-orangnya untuk membantu pasukan Zionis bertempur melawan orang-orang Arab di Galilea.
Kesetiaan Arab Badwi pada Zionis masih tercermin pada sikap Mejar Fallah yang hingga kini lebih senang menggunakan bahasa Ibrani dibandingkan bahasa "ibu"nya, bahasa Arab. Di desa-desa suku Badwi, terutama di wilayah utara Israel, menjadi tentera Israel bahkan sudah menjadi semacam tradisi keluarga.
"Menjadi tentara Israel sudah menjadi warisan turun temurun dari satu generasi ke generasi dalam keluarga saya. Ayah saya dan kakek saya juga mantan tentara Israel," kata Mayor Fallah.
Kemiliteran Israel tidak bersedia memberikan data berapa jumlah orang non-Yahudi yang menjadi tentera Israel. Mereka hanya mengatakan bahawa setiap tahunnya ada ratusan Muslim, Kristiani dan kalangan Druze yang mendaftarkan diri ke pasukan kemiliteran dan jumlahnya terus meningkat pasca serangan brutal Israel ke Jalur Gaza tahun 2008.
Kolonel Ahmed Ramiz, seorang Druse, adalah komandan yang bertanggung jawab untuk kelompok minoriti di kemiliteran Israel. Menurutnya, khusus untuk Muslim Israel tidak ada kewajiban untuk ikut dalam pasukan kemiliteran demi menghindari potensi konflik yang akan timbul, iaitu konflik antara statusnya sebagai Muslim dan sebagai warga Israel.
Meskipun demikian, militer Israel tetap membuka kesempatan bagi Muslim Israel yang ingin menjadi tentera Israel dan mereka dibolehkan bekerja di semua unit kemiliteran termasuk pasukan elit.
Tapi tidak semua Muslim Israel yang memutuskan menjadi tentera Zionis kerana alasan kebanggaan sebagai warga negara Israel. Maher, seorang Muslim Badwi mengungkapkan alasan yang berbeza. Ia mendaftarkan diri menjadi tentera Israel dengan harapan dapat mendapatkan pekerjaan dengan mudah, meski kenyataannya berbeza. Kini ia bekerja sebagai guru olahraga separuh masa, setelah sebelumnya bekerja di unit pendidikan kemiliteran Israel.
"Ketika saya di kemiliteran, mereka beritahu saya akan mudah mendapatkan pekerjaan jika pernah menjadi tentera. Saya cuba mencari pekerjaan tapi ternyata tidak mudah. Mereka yang Muslim tidak mahu menerima saya kerana saya pernah menjadi tentera Israel, sedangkan orang Yahudi lebih senang memberikan pekerjaan pada sesama Yahudi," keluh Maher.
Dia merasa terperangkap masuk ke angkatan bersenjata Israel. Meski pihak Israel menyatakan tidak ada kewajiban bagi non-Yahudi terutama Muslim untuk wajib militer, kenyataannya mereka yang non-Yahudi dan Muslim harus menghadapi pilihan apakah menjadi tentera atau bekerja di komuniti non-militer, agar tetap boleha mendapatkan dana bantuan pendidikan atau dana bantuan soial untuk keluarga mereka.
Maher mengaku terpaksa menghindari mengenakan seragam tentara Israel jika berada di desa-desa Arab yang penduduknya bukan Arab Badwi, agar tidak dicemuh sebagai pengkhianat atau menghadapi ancaman serangan fizik.
"Mengabdi pada Israel, dihina. Tidak mengabdi juga dihina," keluh Maher serba salah. (ln/bbc)